Dr Muhammad A Oyinlola, dosen dari University of British Colombia Canada jelaskan pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) untuk menentukan lokasi budidaya di lautan. Penjelasan ini ia sampaikan dalam webinar Innovation and Adaptation in the Era of VUCA beberapa waktu lalu. Webinar ini merupakan rangkaian dari The 3rd The 3rd International Summer Course on Sustainability of Tropical Animal Production 2021 yang digelar Sekolah Vokasi IPB University. Webinar diikuti oleh 200 peserta dari Indonesia, negara-negara di Asia Tenggara dan Kanada.Dalam paparannya Dr Oyinlola mengangkat tema Aquaculture Innovation to Mitigate and Adapt to Climate Change. Menurutnya, selain untuk menentukan pemilihan lokasi budidaya di laut, AI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak budidaya di laut tersebut dengan dampak lingkungan yang terjadi.“Inovasi lainnya yang digunakan pada budidaya adalah sistem produksi, sistem filtrasi, sistem pemberian pakan dan manajemen air. Ada juga inovasi pada teknologi offshore aquaculture, seperti pembuatan aquapod, smart floating farms dan ocean farming. Inovasi-inovasi ini diharapkan mampu menekan dampak budidaya ikan (laut) terhadap terjadinya perubahan iklim,” ujarnya.
Menurutnya, solusi dan mitigasi perubahan iklim ini tidaklah mudah.“Namun kita bisa menggunakan pendekatan ekosistem budidaya, penentuan zona dan tempat budidaya yang mempertimbangkan faktor perubahan iklim. Lalu kita bisa melakukan optimalisasi formulasi pakan. Harapannya ini dapat berperan pada proses mitigasi. Selain itu. pemerintah juga harus membuat tujuan/ rencana yang jelas untuk budidaya perairan (laut) yang berkelanjutan,” imbuhnya.Selain menghadirkan narasumber yang membahas budidaya perairan, Summer Course Sekolah Vokasi IPB University ini juga menghadirkan Septian Jasiah Wijaya, peternak muda nasional sekaligus CEO dan Founder PT Santona Oro Banyan.Septian menjelaskan inovasi pada proses pemeliharaan sapi perah yang telah ia lakukan. Dalam menjalankan peternakannya, Septian menggunakan sistem pemeliharaan sapi perah modern.“Perubahan sistem pemeliharaan dari tradisional ke modern ini mendatangkan keuntungan yang besar bagi peternakan. Selain itu, akan tercipta efisiensi dari penggunaan tenaga kerja dan input produksi lainnya. Sapi juga menjadi lebih sehat dan sejahtera sehingga menghasilkan produk susu segar yang lebih berkualitas dan diterima industri pengolahan susu,” ujarnya.
Dengan diterapkannya sistem pemeliharaan yang modern, terjadi peningkatan populasi sapi yang dipelihara dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit. Pada sistem tradisional satu orang tenaga kerja bisa memelihara 7-10 sapi. Sementara itu, pada sistem modern, satu tenaga kerja dapat meng-handle 50 ekor sapi perah. (ima/WB/Zul)